AYAH MENGAPA AKU BERBEDA
farradiba
Senja
telah datang menapaki tahtahnya ,menunjukkan keagungan sang malam. Tapi aku
masih terus mengais sisa – sisa bak kotor sampah untuk mencari sesuatu yang
berguna yang dapat aku jual. Aku ini hanyalah seorang gadis cilik anak seorang
pemulung yang tak tahu apa-apa akan hidup ini, gadis polos yang selalu berusaha
untuk mencari keadilan. Keadilan bukan karena terjerat masalah hukum, tapi
keadilan untuk sekolah. Walaupun aku hanya seorang anak pemulung tapi aku ingin
bisa merasakan indahnya bermain , belajar , bercanda gurau dengan teman – teman
sebayaku.
“karunia .. karunia ! nak kamu dimana
?” teriak sesosok laki-laki dipertigaan kompleks.
Ternyata
laki – laki itu adalah ayahku. Dia sayang sekali sama aku tapi aku merasa takut
dengan dia.
“iya ayah”
jawabku dengan ketakutan
“kamu darimana saja ? ayah khawatir…
“maaf yah, aku lagi keasyikan kerja
sampai lupa kalau hari sudah malam J”
jawabku cengengesan.
Lalu
ayah meng-gandeng erat tanganku bergegas
meninggalkan kompleks perumahan mewah lalu menuju kesebuah kompleks kumuh, yaitu rumah kita. Walaupun kumuh
aku merasa nyaman tinggal disana karena aku bisa bermain bersama teman – teman
sebayaku
tanpa
membeda-bedakan ras golongan masyarakat.
***
Bulan
mulai berganti dengan matahari menyinari jagad raya. Tepat pukul 4 pagi aku
terbangun dari tidur lelapku dan mulai melakukan aktivitas seperti biasa
membersihkan rumah , menyapu halaman ,menyiapkan makanan untuk ayah dan aku ,
lalu berangkat memulung .
Itulah
tugas yang selalu aku lakukan setiap hari, aku tak pernah mengeluh akan tugasku
tersebut karena almarhum ibuku pernah berpesan “nak, jika ibu pergi jagalah ayahmu. Bahagiakanlah dia seperti ibu
membahagiakanmu walau hanya dengan secuil kasih sayang. Jangan pernah buat air
matanya mengalir dan kamu harus tetap rajin belajar walaupun ayah tak
mengizinkanmu nak.”
Itu
lah pesan terakhir ibuku. walaupun aku baru berusia 9 tahun perlahan-lahan aku
telah mengerti arti hidup ini. Ibu telah mengajari aku arti hidup ini sesungguhnya
, ketangguhan , ketabahan, dan masih banyak lagi yang tak bisa aku ungkapkan
dengan kata-kata.
“ini nak uangnya” menyulurkan sejumlah
uang hasil pekerjaan memulungku.
“terima kasih paman” sahutku lemah
lembut sambil mengulurkan tangan mengambil uang tersebut.
“kamu tidak sekolah nak?” tanyaku
Aku
hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum simpul kepada paman Hasan.
“kenapa Ni?” tatapan matanya tajam
kepadaku
“ayah belum punya uang paman” jawabku
polos
Lalu
paman Hasan mengelus kepalaku dengan penuh kelembutan bagaikan belaian ayah dan
anaknya dan dia berkata
“sabar, keponakanku sayang. Kenapa
kamu tidak ikut sekolah gratis yang disediakan para mahasiswa dikampung kamu
nak?” tanyanya lagi
“tidak paman ! kata ayah kalau aku
sekolah kita tidak bisa makan lagi dan sekolah tidak akan bisa merubah hidup
kita berdua”
Paman
tak dapat lagi berucap sepatah kata untukku, lalu aku pergi meninggalkannya yang
masih tegak berdiri layaknya patung.
Lalu
aku berlari sekuat tenagaku menuju ke sebuah bangunan besar yang megah dan
disitu terdapat banyak anak-anak yang sebayaku, bangunan itu adalah sekolah. Aku pergi kesana bukan untuk
sekolah melainkan untuk memulung, tapi setelah pekerjaanku selesai aku
mengintip melalui daun jendela kelas itu untuk mengikuti pelajaran. Aku
mengendap-ngendap seperti detektif .
soalnya kalau ketahuan satpam sekolah aku pasti akan diusir dan tidak boleh
memulung disitu lagi dan pasti ayah akan marah padaku karena telah berbohong
kepadanya.
“ayah, maafkan Nia” pintaku dalam hati
Aku
memerhatikan dengan seksama semua penjelasan sang guru. Saat ini pelajaran
matematika, pelajaran yang paling aku gemari karena pelajaran ini hanya
membutuhkan logika. Sejak kecil aku sudah diajari pelajaran matematika oleh ibu
karena dulu ibu pernah berjualan es goder
dan aku membantunya secara tidak langsung beliau mengajariku berhitung.
“anak – anak sekarang waktunya
pelajaran berhitung. Kalian sekarang sudah kelas 3 jadi bab nya sekarang adalah
perkalian. Sekarang kalian sudah siap?” Tanya seorang guru yang berparas cantik
itu kepada murid-muridnya.
Tak
ada satupun siswa yang menjawab pertanyaan guru tersebut.
Lalu
guru itu mulai memberikan contoh dan 5 buah soal kepada muridnya.
Aku
dari balik jendela hanya mendengarkan dengan seksama penjelasan guru tersebut
lalu mulai menjawab pertanyaannya.
“siapa yang bisa 3 x 4 itu berapa ?”
Tanya guru itu dengan penuh kasih sayang
Mereka
pun tetap tidak menjawab sepatah kata apapun. Aku yang dari jauh memerhatikan
mulai jengkel tapi guru itu tetap bisa tersenyum dengan penuh kelembutannya.
“Nita kamu bisa?”
Gadis
yang bernama Nita tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Syifa ? Adit ? Anto ?”
Gelagat
mereka sama, hanya bisa menggelengkan kepala.
“ya sudah ibu jelaskan lagi, kalian
perhatikan ya nak ?” guru itu masih bisa bersikap lembut.
Bel
sekolah pun berakhir, aku bergegas meninggalkan sekolah itu lalu pulang kerumah
sambil membawa hasil 3 kardus Aqua ,
dan 20 tumpuk gelas minuman gelas.
Saat
aku berlari aku menabrak seseorang yang juga berlari tikungan jalan kompleks mewah tersebut. Tenyata seseorang yang
bertubuh tegap itu adalah ayahku.
“ya Allah, Nia ? kamu darimana nak ?”
Tanya ayah khawatir padaku.
“daaaaarrrriii …” jawabku gugup
“darimana sayang ?” lalu ayah
mengangkat tubuh mungilku ini keatas “menggendong”
“dari situ yah , habis mengambil
kardus dan gelas plastik” jawabku
“ya sudah kita pulang yuk” sahut ayah
“ayah.. maafkan Nia” kataku dalam
lubuk hati paling dalam. Lalu aku tersenyum simpul pada ayah.
Saat
perjalanan pulang aku merasa bahagia karena sepanjang perjalanan kita berdua
menyanyi lagu kesukaanku yaitu anak
kambing saya tapi liriknya banyak yang dirubah oleh ayah. “ayahku memang
kreatif” pujiku dalam hati
“mana dimana anak tersayang ayah ?” Tanya
ayah dengan cara menyanyi
“anak tersayang ayah ada disini !”
jawabku
“caca marica hehe caca marica heheh …”
bernyanyi bersama
Aku
merasa sebagai anak yang paling bahagia didunia ini. Walaupun, kita orang
miskin tapi ayah sayang sekali sama aku dan aku-pun juga begitu.
Saat
kami berjalan tiba – tiba “broooooooooookkkkkkkkk”
Aku
dan ayah terperangah melihat ada seorang wanita cantik yang tergeletak tak
berdaya karena ditabrak oleh abang becak
yang lalu lalang di tikungan kompleks.
Ternyata , wanita itu adalah ibu guru yang mengajar di sekolah mewah tadi.
Tanpa disangka – sangka jiwa Pahlawan ayahku muncul, ia bergegas lari
meninggalkanku menuju ke ibu guru tadi.
***
Perlahan-lahan
dua buah kelopak mata sang guru itu terbuka. Dengan mimik wajah bingung ia terbangun dari tidur
pulasnya. Dia bertanya-tanya dengan seseorang laki-laki tua yang gagah berparas bijaksana berkalung stetoskop dengan seragam putihnya. Lalu
lelaki tua itu menunjuk kearah aku dan ayah. Aku tak tahu apa yang telah mereka
bicarakan tetapi yang kudengar guru itu terus mengucapkan “terimakasih”.
Layaknya seperti gadis kecil biasanya, aku tak paham apa yang orang dewasa itu
bicarakan. Aku hanya bisa memberikan senyuman kepada guru cantik itu. Lalu guru
itu membawa aku dalam dekapannya dan ia membisikkan sesuatu kepadaku.
“terimakasih
ya gadis kecil. nama ibu Kasih. nama kamu siapa nak?” lalu aku melepaskan diri
dari dekapannya itu dan berkata,
“aku Karunia bu”. Kami semua larut dalam canda
tawa.
Setiap
hari aku selalu datang menjenguk bu Kasih. ia itu sosok perempuan yang sangat
baik, dewasa, sayang dengan aku. Pokoknya sifat dia mencerminkan namanya yang
indah itu. Dia juga mengajarkan aku pelajaran. ia selalu memberi aku motivasi
yang baik untuk aku agar aku lebih giat lagi belajar.
Hari
yang ditunggu-tunggu pun tiba, akhirnya bu Kasih diizinkan oleh Dokter pulang setelah
3 hari menginap dirumah sakit.
“kemarin
itu seperti masuk penjara saja” kata bu Kasih pelan.
Saat
tiba dirumahnya bu Kasih menyuruhku main di luar rumah dulu karena ia ingin
bicara empat mata dengan ayah.
“ada apa bu? sepertinya ada yang ingin
anda bicarakan” Tanya ayah khawatir
“masalah Karunia pak.”
“emang ada apa dengan anak saya bu?”
ayah mulai khawatir
“apa
bapak tak ingin menyekolahkan Karunia pak, ia anak yang cerdas tak sepatutnya
ia mendapatkan perlakuan seperti itu pak?”
Suasana
menjadi tegang. Ayah tak bisa berkata sepatah kata apapun. Tapi tiba-tiba
emosinya memuncak tangan mengepal begitu kuatnya dan menghantamkannya pada
sebuah meja kayu didepan mereka berdua. “bbrrrrrrrooookkkk !”
Bu
guru itu hanya bisa termenung kaget melihat kelakuan ayah.
“lebih baik anda tak usah urusin hidup kami. Urus saja
hidup anda sendiri. Bukan berarti selama 3 hari anda dan anak saya bersama anda
bisa mengatur hidup kita !” jawab ayah lantang dengan wajah memerah
dan langsung bergegas pergi meninggalkan bu guru itu sambil mencengkram
tanganku erat. Aku hanya menangis kesakitan. Aku tak tahu apa yang terjadi
dengan orang dewasa itu.
Setelah
sampai dirumah aku memberanikan bertanya kepada ayah.
“ayah …” tanyaku polos
“sekarang kamu tak usah bermain
bersama guru itu” dengus ayah padaku
“ada apa yah?”
“kalau ayah bilang TIDAK berarti tidak
.jangan Tanya-tanya lagi. SEKARANG MASUK KAMAR” jawab ayah dengan nada
membentak
Mendengar
perkataan ayah yang seperti itu aku hanya bisa termenung seperti habis meminum
suatu minuman yang pahit yang dipaksakan masuk kedalam mulutku. Perlahan- lahan
air dalam kelopak mataku pun tumpah. Ayah yang tadinya marah pun luluh melihat
tangisanku. Dia membawa ku masuk kedalam dekapannya dalam dan begitu dalam. Aku
tak tahu apa yang ia pikirkan sekarang tapi aku baru sadar kalau ia begitu
menyayangiku.
“maafkan ayah putri kecilku” pinta
ayah dengan meneteskan air mata
Aku
tak bisa mengatakan apapun kepada ayah, tetapi aku mencoba meyakinkan ia dengan
pelukanku yang begitu erat.
Lalu
ayah melepaskan dirinya dari pelukanku dan berkata
“kamu sayang kan sama ayah” Tanya ayah
dengan nada lembut
“Nia sangat sayang sama ayah” jawabku
dengan nada meyakinkan ayah
“kalau begitu kamu jangan lagi bermain
bersama bu kasih lagi ya nak” kata ayah
dengan membengkokan jari tengah dan jari telunjukku atau lambang “kebohongan”
Lalu
ayah menyuruhku kembali bekerja seperti biasa.
“ayah, maafkan aku. Nia memang bukan
anak yang baik. Nia memang jahat, tapi nia juga ingin seperti mereka bisa
bersekolah, belajar, dan bisa membahagiakan ayah dan ibu” kataku dalam hati.
Saat
aku membongkar-bongkar tumpukan sampah dengan kawat lancip yang sudah karatan.
Ada yang menepuk pundakku.
“nia..?” Tanya seseorang itu
“iya” jawabku sambil membalikkan badan
kearah datangnya suara itu. “ibu kasih ?”
“iya nia. Ikut kerumah ibu yuk, kita
belajar kamu mau tidak?” Tanya bu Kasih
“pasti bu ! Nia mau kok. Tapi, nanti
kalau ayah tahu gimana bu ? nia takut” jawabku polos
“nanti biar ibu yang urus. Yang
penting kamu bisa belajar dan menjadi anak yang pintar nanti pasti ayah kamu
bangga.” Jawab bu Kasih dengan tegas dengan nada yang lembut.
Bu
Kasih begitu sabar mengajariku semua pelajaran. katanya aku ini anak yang
cerdas padahal baru belajar saja aku langsung bisa mengerti dan jelas.
“oke nia, sampai disini dulu ya
belajarnya gimana kamu sudah jelas ?” Tanya bu Kasih padaku
“alhamdulilah bu. sudah sangat jelas”
jawabku yakin
“kenapa ayahmu tak mengizinkanmu
sekolah ni?” Tanya bu Kasih lagi
“kata ayah percuma kalau aku sekolah
karena nantinya pasti tak akan berguna. ayah sudah tak punya uang lagi untuk
menyekolahkanku bu” jawabku
“tapi kalau alasannya seperti itu
kenapa ayahmu begitu marah saat ibu bertanya sekolah kan ayahmu bisa
menggunakan kartu gakin pasti kamu
akan diizinkan sekolah ni !”
“ohhh,, begitu ya bu. nanti biar nia
yang tanya sama ayah” jawabku
Lalu
aku segera pulang. Aku ingin bertanya kepada ayah, dengan beribu ketakutan
didalam benakku aku memberaniakan diri dulu ibu pernah bilang “kalau kita tidak
bersalah maka kita tak boleh takut” masih begitu jelas diingatanku semua petuah
ibuku.
“ Nia jangan lari-lari didalam rumah
!” jawab ayah dengan lugas
“maaf ayah J” pintaku
“iya nak, ada apa ?” tanya ayah
“ayah, nia ingin tanya kenapa nia tak
diizinkannnnnn … sekolah ?” tanyaku terbata-bata
Ayah
termenung dan wajahnya kembali memerah dengan sigap aku meraih tangan ayah dan
memegangnya erat. Tetapi ayah melepaskan tanganku dengan sekuat tenaga ia pergi
meninggalkanku.
“seharusnya
aku tak bertanya seperti ini :’( “ kataku pelan sambil melihat langkah ayah
tubuh ayah yang lunglai seperti baru bangun dari tidur pulasnya dan nyawanya
belum terkumpul lagi.
Aku
mengikuti langkah ayah. Ternyata ayah menuju kamarnya lalu ia mengambil bingkai
foto dengan foto seorang gadis cantik dengan menggendong anak kecil dalam
dekapannya. Ternyata itu adalah foto ibu dan fotoku saat aku masih bayi. Ayah
melihat foto itu perlahan-lahan ia meneteskan air mata. Aku tak tahu apa yang
sedang ia pikirkan tapi aku yakin pasti ia memikirkan aku. Lalu aku pergi
kamarku. Perlahan-lahan kelopak mataku menutup membawanya pergi jauh dari alam
sadarnya tanpa disangka-sangka ayahku masuk kedalam kamarku, ia mengelus ubun-ubunku. Air matanya pun keluar lagi
begitu deras.
“nia
maafkan ayah, bukannya ayah tak ingin kamu sekolah nak. Tapi, ayah takut kalau
nanti kamu disakiti oleh laki-laki jahat itu nak. ia tak pernah inginkan
kehadiranmu dan ibu, makanya ayah terlalu protektif
denganmu …” ayah mencurahkan segala perasaan kecewannya dihadapanku tapi karena
begitu lirihnya suaranya aku tak begitu jelas mendengarya.
Keesokkan
harinya ayah membangunkanku dari tidur pulasku ia menyuruhku sholat. Dengan sigap aku langsung bangun
dari tempat tidur kayuku yang sudah rapuh lalu menuju kamar mandi, mengambil
air dari kran lalu membasuhnya ke
telapak tanganku, wajah, layaknya seperti orang biasa berwudlu. Lalu kuambil
kain putih yang warnanya sudah lusuh tapi masih terjaga kesuciannya. Aku
melantunkan do’a – do’a dan mengerakkan seluruh tubuhku. Setelah salam aku
memanjatkan do’a kepada Tuhan dan ternyata ayah mendengar do’aku
“Ya
Allah ya Tuhan-ku, aku tahu nia memang salah, nia selalu buat ayah kecewa. Nia
ini bukanlah anak yang berbakti kepada ayah tapi nia ini ingin sekolah seperti
teman-temanku. Nia ingin menjadi anak yang berguna bagi ayah dan ibu …”
Lalu
setelah selesai sholat aku harus
menjalankan aktivitasku seperti biasa. Aku melihat ada yang aneh dimata ayah.
sekarang matanya sedikit bengkak dan
merah layaknya orang yang susah tidur. Setelah aku menyelesaikan pekerjaanku
dirumah aku segera menuju tempat biasa aku memulung yaitu di sekolah megah itu
tempat bu Kasih bekerja. Saat aku akan mengintip di daun jendela kelas 3,
tiba-tiba ada sesosok bayangan yang datang
kearahku. Ternyata bayangan itu adalah bu Kasih ia mengetahui keberadaanku
karena satpam sekolah memberitahukan
hal tersebut kepadanya. Lalu bu Kasih mengajakku kedalam kelas yang saat ini
sedang ia ajar (kelas 3), ia
memperkenalkan aku kepada murid-muridnya yang sangat arogan itu dan akhirnya aku dipersilakan untuk bergabung dengan
mereka semua dengan berat hati dan rasa malu aku mencoba memberanikan diri
untuk bergabung dengan mereka. Perlahan-lahan aku mulai mengenal mereka semua
dan pikiran jelekku terhadap mereka mulai sirna karena mereka itu sangat baik
sekali padaku. Mereka terlihat arogan karena kurangnya kasih sayang dari orang
tuanya. “Alhamdulillah ya Allah kau beri aku keluarga seperti ayah” dalam
hatiku.
Sudah
5 hari aku bergabung dengan teman baruku itu. Aku sangat menyayangi mereka dan
mereka pun juga menyayangiku dengan tulus, walaupun aku tak sederajat dengan
mereka tapi mereka tak pernah peduli karena bu Kasih selalu menjelaskan kepada
aku dan kawan-kawan baruku tentang arti sebuah persahabatan.
Saat
aku melangkahkan kaki untuk segera keluar dari sekolah megah. Aku merasa jantungku
berdegup lebih kencang. Aku merasa ada suatu hal yang buruk akan terjadi dalam
hidupku. Dan hal itu pun benar, ternyata ayah ada dihadapanku. Ayah memerahiku
dengan begitu marahnya, serasa hatiku dihantam oleh batu yang sangat besar.
Hati anak yang mana yang tak miris saat seorang ayahnya memberikan cacian yang
begitu tajamnya masuk dalam hatiku. Ayah menarikku dengan begitu erat menuju
singgah sananya.
“nia kamu sekarang sudah pandai
berbohong !” tanya ayah lantang.
Aku
hanya bisa tertunduk dengan beribu rasa ketakutan dalam benakku. Aku tak berani
menunjukkan mataku kepadanya. Dan aku hanya bisa menangis.
“ayahkan sudah bilang, ayah tak
ingin kamu sekolah. Ayah itu ingin kamu bekerja saja. Ayah sudah tak punya uang
nak. dan nantinya buat apa kamu sekolah, sekolah tak dapat merubah nasib kita.
Hanya orang-orang yang berduit saja disana yang bisa sukses dalam pendidikan”
Aku
masih terus dalam tundukanku. Aku serasa menjadi patung, tapi patung tersebut
bisa mengeluarka air dari matanya.
“NIA JAWAB AYAH?” bentak ayah
Lalu
aku mencoba memberanikan diri untuk menatap wajah ayahku. Tapi, tiba-tiba ada
bayangan hitam yang menyelimuti mataku. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi
dengan diriku. Semuanya hilang sekejap. tiba-tiba muncul aroma yang sangat menusuk
dalam hidungku. Aku mencoba lari dari bayangan hitam tersebut.
“nia bangun ? nia maafkan ayah”
tanya ayah.
“ayaaaahhh niiiiaa dii_mana ?”
tanyaku terbata-bata
“kamu ada didalam kamarmu sendiri,
tadi kamu pingsan” jawab ayah lembut
Ternyata
tadi aku itu pingsan. “ya Allah kau selamatkan aku lagi” desahku lirih
“ya sudah sekarang kamu istirahat
saja. Nanti setelah kondisimu mulai membaik kita bicara lagi” kata ayah
Lalu
ayah pergi meninggalkanku sendiri didalam kamar
“padahal yang sakit hatiku tapi
kenapa terasa semua tubuhku yang sakit. Rasanya mau patah”
Tanpaku
sadari ternyata ayah keluar untuk bertemu dengan bu Kasih. ayah menceritakan
kondisiku tadi kepadanya. Dan menceritakan juga alasannya ayah tak mengizinkan
aku sekolah.
“Pak Anto, nia juga berhak tahu apa
alasan bapak tak mengizinkan dia sekolah” kata bu kasih dengan sopan.
“tapi saya tak ingin dia khawatir
bu” jawab ayah polos
“dia itu anak yang cerdas pak.
Seharusnya anda menurunkan sedikit ego anda kepadanya. Cobalah mengalah
nantinya saya yakin nia akan menjadi orang yang hebat. Semangat pantang
menyerahnya yang tiada tandingannya”
Hati
ayah terenyuh hatinya mendengar penjelasan dari bu Kasih. lalu ayah bergegas
pulang untuk menemuiku.
“nia, dimana ?” teriak ayah
Aku
langsung keget mendengar teriakan ayah. Teriakan ayah itu seperti raungan
harimau yang keluar dari sarangnya untuk mencari mangsa. Aku mencoba
memberanikan diri keluar dari kamar lalu menuju ke sumber teriakan ayah.
“ada apa ayah ?” jawabku pelan
“apa kamu masih ingin sekolah ?”
tanya ayah padaku
“tidak yah, aku tak ingin
mengecewakan ayah” jawabku
“kalau ayah mengizinkan apa kamu mau
?” tanya ayah lagi
Mendengar
pernyataan ayah yang seperti itu aku tak bisa mengatakan apapun. Aku bingung
akan menjawab apa.
“kamu mau apa tidak ?” tanya ayah
lagi
“iya ayah aku mau. Nia ingin sekolah”
jawabku sigap
Aku
berlari menuju dekapan ayah dan memeluknya erat-erat. Aku menunjukkan rasa
bahagiaku dengan pelukan eratku terhadapnya.
Keesokan
harinya aku sudah tidak pergi untuk memulung lagi tetapi aku pergi untuk
sekolah. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk bersekolah disekolah yang
mewah itu. Sudah sekolahpun aku sangat bersyukur apalagi bisa sekolah ditempat
semegah tempat itu.
Walaupun,
sekarang aku sudah bersekolah tetapi aku juga masih bisa menjalankan aktivitas
yang dulu biasa aku kerjakan dahulu.
Hidupku
sekarang sudah mulai sedikit demi sedikit berubah. Sekarang ayah sudah tidak
bekerja sebagai pemulung lagi tetapi dia sekarang sudah bekerja secara tetap
disekolah tempat aku bersekolah. Aku tak pernah merasa malu dengan pekerjaan
ayah.
Saat
aku dan ayah pulang kerumah ada 2 orang laki-laki menggunakan jas dan 3 orang
yang berpostur tegap seperti bodyguard
di depan rumahku.
“Andi ?” tanya ayah kepada salah
seorang itu
“ya Tuhan, mas Anto” seseorang yang
bernama andi tersebut langsung menghampiri ayah dan memelukknya. Layaknya
seperti saudara lama dan memang benar itu adalah adik kandung ayah.
“Alhamdulillah, akhirnya kita bisa
bertemu, ndi” ayah melepaskan pelukannya
“ mas papa mas”
“ada apa dengan papa ? aku ingin
bertemu dengannya” tanya ayah pada adiknya tersebut.
“papaaaa__ sudah meninggal” jawab om
andi
Mendengar
pernyataan dari om andi , mata dan wajah ayah memerah. Ayah menjatuhkan diri
menuju tanah. Dia begitu sangat menyesal dengan kepergian papanya atau kakekku.
Ayah menangis dan berteriak begitu kencangnya dengan sekuat tenaga ke 3 penjaga
(bodyguard) itu membopong ayah menuju
dalam rumah.
om
Andi mengeluarkan sebuah map yang
menyatakan bahwa seluruh harta warisan keluarga sekarang yang mengurus adalah 2
anak laki-lakinya tersebut, yaitu ayah dan om Andi. Orang tua dari ayah
mewariskan 3 rumah, 2 tanah,2 perusahaan, 3 mobil Mercedes bens & bmw dan
masih banyak lagi harta warisan untuk
mereka berdua. Mendengangar pernyataan surat warisan tersebut ayah langsung
bersimpuh ditanah mengucapkan syukur akan karunia yang terindah yang diberikan
oleh Tuhan, walau dengan berat hati menerima kepergian papanya. Ayah menyesali
segala perbuatan yang telah dia lakukan dulu dengan sang papanya.
“maafkan segala kesalahanku pa. aku berburuk
sangka kalau papa itu orang yang jahat. Semoga engkau tenang disana” pinta ayah
dalam untaian do’anya.
Sekarang
aku dan ayah lagi tidak perlu susah-susah memulung lagi, tak perlu membersihkan
halaman sekolah, tak perlu pinjam uang ketetangga, tak perlu susah-susah
mencari uang untuk sekolah dan keperluan lainnya.
Dan hal yang terindah
dalam hidupku aku bisa bersekolah dan bisa berteman dengan siapa saja tanpa
membeda-bedakan ras & direndahkan oleh orang lain lagi.

0 komentar:
Posting Komentar